Rabu, 06 Juni 2012

SASTRA BUTON

Oleh: Hafidah
1.CONTOH LEGENDA
Asal Mula Bone Malei (Pasir Merah), Wolio Kota Bau-Bau
 Bahasa Wolio,,,
Saangu wakutu tana wolio siy ‘apanntangia Raja Mulae zamani yincia sumai yi Bone Tobungku yi Kaponturi dhangia te kaheru. Baana kaheru yinca sumako , La Bolontio. Roonamo mia yincia sumaysaompole mea matana. Tapanamo kasegana te amalanga yincana. Bhari-bharia mia yindamo te matarana. Araatana posa rampasimea yincia. Ane yinda aalea adhaki-dhakia.
Saopea-saopea kaheru yincia sumay akawamo yi kamali lelena. Raja mulae arangomo. Laosaka ‘apadhangia kambotu. Yincema- yincema momembalina  ‘apekamate La Bolontio. Bhea dhawua ponambo, eapakawia te ‘anana Wa Tampaydongi. Sarona yi kamali Bhoroko Malanga.
Lele yincia sumay ‘atoresamo sabhawaangia siy. Yapayaka mia momasegana posalingkamo yi Bone Tobungku. Murhum, samia alingkamo dhuka. Kooniwae Murhum wakutuu yincia sumay asawi koli-koli. Sadhompana koli-kolina Murhum asapomo. Sasampona Murhum ‘apara make-makempamo aporope yi La Bolontio. Tula-tulana kooniu La Bolontio ‘alingkaysimo dhuka Murhum. Samakasuna La Bolontio Murhum ‘aontomo. Oaena apapesuamea yinuncana bhone.Kasiympo apapenea asepaakamo La Bolontio. Wakutu yincia yitu matana La Bolontio abukeakamo bone, te aseserakamo yindamo apokamaata. Murhum ‘abindumo ewangana kaatobokiaka La Bolontio maka yinda katea. Madey-dey Murhum ‘aagoy ewangana La Bolontio kasiympo atobokia La Bolontio, lausaka amate. Sakamatana yincia yitu sabhangkana Murhum aosemo sabhangkana La Bolontio. Kaapoewangi sagaa amate, sagaa atorako ,sagaa dhuka apalay.
Satoba tane La Bolontio ‘atarimea ‘obhorokona kasiympo baana adawuakea miana siompu ambuliakea madhey yi kamali te pakawa yi raja,te apatium baakea matana La Bolontio mako yi raja Mulae mamudhaakana akamatea saompole matana. Padha yincia sumay Murhum adhodhomo kaumaneana La Bolontio sumay.
Kawa sapadhana yincia sumay Murhum atopakawimo te bhoroko Malanga. Bhana La Bolontio atomaniuakamo, te miana Siompu ambuliakamea yi siompu kaatodhika-dhika, yi nuncana lia yi bahawona bhatu yi lontoy.
Kasiympo rampana kabharina momatena yi Bhone Tobungku obhona wakutu yincia yitu posa maleiaka raa. Siytumo sababuna bona tobungku yi kapuntori atosarongimo “BONE MALEI”.
TANGKANAPO
  
Bahasa Indonesia….
Suatu saat buton diperintah oleh seorang raja yakni Raja Mulae. Pada zaman itu di Bone Tobungku Kapuntori ada huru-hara yang di pimpin oleh La Bolontio. Rakyat yang tinggal di Bone Tobungku sangat takut dengan La Bolontio karena dia hanya memiliki satu mata saja. Ia kejam dan tinggi hati, semua orang merasa tidak tenteram. Harta bendanya dirampas, diambil atau dirusakkan. Beberapa saat kemudian huru-hara tersebut sampailah beritanya di Istana dan telah diketahui olah raja. Setelah itu raja mengadakan keputusan, siapa-siapa yang dapat membunuh La Bolontio, akan diberi hadiah, dikawinkan dengan putrinya yang bernama Wa Tanpaydongi. Namanya diIstana di kenal dengan Boroko Malanga.
Beritanya tersebut menyebarkan di seluruh kerajaan. Para satria yang berani semua menuju Bone To bungku. Murhum pun ikut mengadu untung. Menurut berita Murhum saat ini naik sampan menuju Bone Tobungku. Setelah tiba, Murhum naik ke darat. Setelah menginjakkan kaki di pantai , ia berpura-pura pincang berjalan menuju La Bolontio. Menurut Cerita, La Bolontio berjalan pula menuju Murhum. Setelah La Bolontio mendekat,Murhum memasukkan kakinya kedalam pasir, dan secara tiba-tiba disentakkan kearah mata La Bolontio, sehingga penuh dengan pasir. Akhirnya ia terhuyung-huyung karena matanya sudah buta akibat dikena pasir. Murhum menghunus kerisnya lalu menikam La Bolontio,tetapi tidak mampan. Melihat itu Murhum merampas keria La Bolontio kemudian ditikamkan pada La Bolontio denagn kerisnya sendiri. Saat itu La Bolontio terbanting lalu meninggal dunia. Melihat itu kawan-kawan Murhum lalu mengejar pasukan La Bolontio untuk berkelahi, sebagian meninggal ,sebagian ditawan dan sebagian lagi melarikan diri.
Saat itu juga Murhum memenggal leher La Bolontio dan kepalanya dibawa segera pada raja  supaya raja yakin bahwa La Bolontio yang bermata satu telah dikalahkan. Sesudah itu Murhum memotong pula alat fital dari La Bolontio untuk di persembahkan kepada Raja Mulae sebagai bukti bahwa yang membunuh La Bolontio adalah Murhum.
Kemudian dari pada itu Murhum telah diakui Raja Mulae dan langsung dikawinkan dengan Boroko Malanga. Akhirnya kepala La Bolontio diserahkan kepada orang siompu untuk disimpan dalam gua yang berada diatas batu di Lontoi. Saat pertempuran di Bone Tobungku sangat banyak pasukan La Bolontio yang terbunuh sehingga pasir menjadi berwarna merah karena darah. Itulah sebabnya Bone Tobungku di gelar dengan nama “Bone Malei”.
Sekian,,semoga bermanfaat,,

2.CONTOH SYAIR
Kabanti, Syair Sastra Wolio
Bismillahi kaasi karoku siy
Alhamdu padaaka kumatemo
Kajanjinamo Oputa momakaana
Apekamate bari-baria batua

Yinda samia batua bemolagina
Sakabumbua padaa posamatemo
Soomo Opu alagi samangengea
Sakiaiya yindaa kokapadaa

E Wapu dawuaku iymani
Wakutuuna kuboli badakusiy
Te syahada iqraru momatangka
Tetasidiqi iymani mototapu

E Waopu rangania rahmati
Muhammadi cahea baabaana
Oinciamo kainawa motopene
Mosuluwina bari-baria batua

Sio-siomo Waopu bekupokawa
Yi muhsyara toromuana batua
Aagoaku yi azabu narakaa
Yi huru-hara naile muri-murina

Siy saangu Nidzamu oni Wolio
Yi karangina Suluthani mo adili
Kukarangia betao paiasaku
Barasalana bekuose kaadari

Sio-siomo Opu atarimaaku
Bekuewangi yincaku momadakina
Kusarongia Kabanti yincia siy
Bula malino kapekarunana yinca

3.CONTOH PANTUN
1)Ne’u pe:lo giu-banara
  Boli pe:loa mia mosaganana.
  Giu-banara da:ngia yi nuncana karona manusia.
  Ne’indamo da:ngia yi nuncana karota
  Maka sia-siamo banaka waktumu pe:lo giu-banara.
  Artinya:
  Jika hendak mencari jalan kebenaran,
  Jangan mencarinya pada diri orang lain.
  Jalan kebenaran ada pada diri manusia
  Kalau sudah musnah dalam diri kita
  Niscaya sia-sia sudah membuang waktu mencari jalan-kebenaran.

2)Agama te:adhati abasarapu
  Labu rope audhani opuna,
  Labu wana audhani karona,
  Labu saripi audhani amalana
  Artinya:
  Agama dan adat bersenyawa
  Tampak depan, mengingat pencipta-Nya
  Tampak belakang, mengingat dirinya
  Tampak samping mengingat amalannya

4.CONTOH SELOKA
‘yinda – ‘yindamo arata:, somanamo karo
‘yinda – ‘yindamo karo, somanamo lipu
‘yinda – ‘yindamo lipu, somanamo sara
‘yinda – ‘yindamo sara, somanamo agama
Artinya:
Boleh saja harta tiada asalkan masih ada eksistensi Diri
Boleh saja diri tiada asal masih ada eksistensi Negeri
Boleh negeri tiada asal masih ada eksistensi Tata-Pemerintah
Boleh saja tata-pemerintah tiada asal masih ada eksistensi Agama

5.CONTOH PANTUN
Yinda Yindamo Arataa Somanamo Karo (Biarpun harta habis asalkan jiwa raga selamat)
Yinda Yindamo Karo Somanamo Lipu    (Biarpun jiwa raga hancur asal negara selamat)
Yinda Yindamo Lipu Somanamo Sara     (Biarpun negara tiada asal pemerintah ada)
Yinda Yindamo Sara Somanamo Agama   (Biarpun pemerintah tiada asal Agama dipertahankan)

6.CONTOH UNGKAPAN
Pomali horaci polango, baha Kokawincu.
Pemali menduduki bantal, jangan sampai berbisul.

Pomali toma’a itawe, pande tokolapusie.
Pemali makan di periuk, biasanya wajah kita bernoda hitam.

Pomali toma’a kadese rapi, bara wite pikasimba moluda.
Pemali makan pisang kembar, jangan sampai cepat ompong.

7.Sejarah (Tambo) Buton
        
         Buton adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah tenggara Pulau Sulawesi. Pada zaman dahulu di daerah ini pernah berdiri kerajaan Buton yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan Buton.
Buton dikenal dalam Sejarah Indonesia karena telah tercatat dalam naskah Nagarakretagama karya Prapanca pada Tahun 1365 Masehi dengan menyebut Buton atau Butuni sebagai Negeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi dimana terbentang taman dan didirikan lingga serta saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Nama Pulau Buton juga telah dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit. Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.
        Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah Kerajaan pertama kali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh sumber lisan mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke – 13.
Mereka mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio (saat ini berada dalam wilayah Kota Bau-Bau serta membentuk sistem pemerintahan tradisional dengan menetapkan 4 Limbo (Empat Wilayah Kecil) yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu yang masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga lebih dikenal dengan Patalimbona. Keempat orang Bonto tersebut disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja. Selain empat Limbo yang disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil seperti Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Maka atas jasa Patalimbona, kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan Wa Kaa Kaa (seorang wanita bersuamikan Si Batara seorang turunan bangsawan Kerajaan Majapahit) menjadi Raja I pada tahun 1332 setelah mendapat persetujuan dari keempat orang bonto/patalimbona (saat ini hampir sama dengan lembaga legislatif).
          Dalam periodisasi Sejarah Buton telah mencatat dua Fase penting yaitu masa Pemerintahan Kerajaan sejak tahun 1332 sampai pertengahan abad ke – 16 dengan diperintah oleh 6 (enam) orang raja diantaranya 2 orang raja perempuan yaitu Wa Kaa Kaa dan Bulawambona. Kedua raja ini merupakan bukti bahwa sejak masa lalu derajat kaum perempuan sudah mendapat tempat yang istimewa dalam masyarakat Buton. Fase kedua adalah masa Pemerintahan Kesultanan sejak masuknya agama Islam di Kerajaan Buton pada tahun 948 Hijriah ( 1542 Masehi ) bersamaan dilantiknya Laki La Ponto sebagai Sultan Buton I dengan Gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis sampai pada Muhammad Falihi Kaimuddin sebagai Sultan Buton ke – 38 yang berakhir tahun 1960.
          Dibidang hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton , 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu diantaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali sampai meninggal yang dalam bahasa wolio dikenal dengan istilah digogoli .
          Bidang perekonomian dimana Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).
          Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat Semesta dengan falsafah perjuangan yaitu :
“Yinda Yindamo Arata somanamo Karo” (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
“Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu” (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara” (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
“Yinda Yindamo Sara somanamo Agama” (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).
          Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah kesultanan, juga mulai membangun benteng dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi keutuhan masyarakat dan pemerintah dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masa Kerajaan/Kesultanan Buton (sejak berdiri tahun 1332 dan berakhir tahun 1960) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini masih dapat kita saksikan berupa peninggalan sejarah, budaya dan arkeologi. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa daerah kabupaten dan kota yaitu : Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton Utara, dan Kota Bau-Bau.

Raja-raja Buton
1. Raja ke I Wa Kaa Kaa 1311
2. Raja ke II Bulawambona
3. Raja ke III Bataraguru
4. Raja ke IV Tua Rade
5. Raja ke V Mulae
6. Raja ke VI Murhum

Sultan-Sultan Buton
1.  Sultan ke-1 Murhum dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis (1491-1537),
2.  Sultan ke-2 La Tumparasi (1545-1552) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
3.  Sultan ke-3 La Sangaji (1566-1570) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
4.  Sultan ke-4 La Elangi (1578-1615) dengan gelar Sultan Dayanu Iksanuddin,
5.  Sultan ke-5 La Balawo (1617-1619)
6.  Sultan ke-6 La Buke (1632-1645)
7.  Sultan ke-7 La Saparagau (1645-1646)
8.  Sultan ke-8 La Cila (1647-1654)
9.  Sultan ke-9 La Awu (1654-1664) dengan gelar Sultan Malik Sirullah,
10.Sultan ke-10 La Simbata (1664-1669) dengan gelar Sultan Adilil Rakhiya,
11.Sultan ke-11 La Tangkaraja (1669-1680) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
12.Sultan ke-12 La Tumpamana (1680-1689) dengan gelar Sultan Zainuddin,
13.Sultan ke-13 La Umati (1689-1697)
14.Sultan ke-14 La Dini (1697-1704) dengan gelar Sultan Syaifuddin,
15.Sultan ke-15 La Rabaenga (1702)
16.Sultan ke-16 La Sadaha (1704-1709) dengan gelar Sultan Syamsuddin,
17.Sultan ke-17 La Ibi (1709-1711) dengan gelar Sultan Nasraruddin,
18.Sultan ke-18 La Tumparasi (1711-712) dengan gelar Sultan Muluhiruddin Abdul Rasyid,
19.Sultan ke-19 La Ngkarieri (1712-1750) dengan gelar Sultan Sakiyuddin Duurul Aalam,
20.Sultan ke-20 La Karambau (1750-1752) Sultan Himayatuddin
21.Sultan ke-21 Hamim (1752-1759) dengan gelar Sultan Sakiyuddin,
22.Sultan ke-22 La Seha (1759-1760) dengan gelar Sultan Rafiuddin,
23.Sultan ke-23 La Karambau (1760-1763)
24.Sultan ke-24 La Jampi (1763-1788) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
25.Sultan ke-25 La ...........
26.Sultan ke-26 La Kaporu (1791-1799) dengan gelar Sultan Muhuyuddien Abdul Gafur,
27.Sultan ke-27 La Badaru (1799-1822) dengan gelar Sultan Dayanu Asraruddin.
28.Sultan ke-28 La Dani (1823-1824)
29.Sultan ke-29 Muh. Idrus (1824-1851)
30.Sultan ke-30 Muh. Isa (1851-1861)
31.Sultan ke-31 Muh. Salihi (1871-1886)
32.Sultan ke-32 Muh. Umar (1886-1906)
33.Sultan ke-33 Muh. Hasiki (1906-1911)
34.Sultan ke-34 Muh. Husain (1914)
35.Sultan ke-35 Muh. Ali (1918-1921)
36.Sultan ke-36 Muh. Saifu (1922-1924)
37.Sultan ke-37 Muh. Hamidi (1928-1937)
38.Sultan ke-38 Muh. Falihi (1937-1960)

8.Hikayat Sipanjonga (Nenek Moyang Orang Buton)
          Dalam hikayat Sipanjonga “Mia Patamia” terdiri atas empat orang: Sipanjonga, Simalui, Sitanamajo, dan Sijawangkati. Dikisahkan pemimpin kelompok pelayaran bernama Sipanjonga, seorang hartawan dan dermawan berasal dari Pulau Liyaa di Johor. Sebelum keberangkatan kelompok itu, Sipanjonga bermimpi didatangi seorang tua yang menasihatinya agar pergi ke tempat yang lebih baik.
          Maka berkata orang tua itu kepada Sipanjonga “hee cucuku, apa juga sudahnya cucuku tinggal di dalam pulau ini, lebih baik engkau mencari lain tempat yang lebih baik dari pulau ini. Maka kata Sipanjonga “hee nenekku, bagaimana aku pergi mencari lain tempat daripada pulau ini. Maka kata orang tua itu “cucuku buatlah perahu di ujung pulau ini supaya boleh cucuku pergi sekalian dengan segala keluarga cucuku”.
Kemudian Sipanjonga memerintahkan hamba sahayanya membuat perahu yang diberi nama “palulang”. Perahu ini segera dimuati sekalian orang beserta harta sekalian jenis emas, perak, tembaga, suasa, dan permata, intan baiduri, mutiara, dan lain sebagainya. Keberangkatan Sipanjonga digambarkan demikian:
“Maka layar perahu pun dipasang oranglah merapat kiri kanannya. Maka Sipanjonga pun naiklah ke palulang serta dengan segala bunyi-bunyian. Itulah adat segala anak raja-raja yang besar-besar di dalam negeri. Maka kepada hari yang baik dan saat yang baik maka Sipanjonga pun menyuruh orangnya bongkar sauh, maka orang pun hadirlah masing-masing dipegangnya. Maka meriam pun pasang oranglah kiri kanan dan bunyi-bunyiannya dipalu oranglah. Terlalu khidmat bunyinya dan layar pun dibuka orang, maka angin bertiuplah terlalu keras jalannya palulang itu, seperti burung rajawali pantasnya. Dengan seketika juga Pulau Liyaa itu lepas dari pada mata orang banyak”.
           Dalam kisah, Sipanjonga terdampar di Pulau Malalang setelah tujuh malam lamanya kemudian melanjutkan pelayarannya. Sewaktu menunggu itu, Sipanjonga mendengar suara: “Hee Sipanjonga janganlah engkau berduka cita atas pekerjaanmu karena engkau melakukan dirimu seperti demikian itu. Kembalilah engkau ke pilangmu, bukan tempat bagimu pada pulau ini. Hendaklah engkau segera berlayar menuju matahari. Adalah sebuah pulau besar “Butuni” namanya disebut orang. Disanalah engkau duduk yang sedia insya Allahu Ta’aala. Kemudian hari itu pula dapat menjadi sebuah negeri yang besar-besar beribu-ribu orangnya lagi beroleh ‘anak-anak’ seorang laki-laki dan cucumu maha banyak dan anakmu itupun mendapat seorang ‘perempuan’ didalam buluh gading yaitu menjadi raja didalam negeri itu lagi anakmu itu kaya kekal kekayaannya datang kepada anak cucumu dengan berkat orang yang didapat didalam buluh itu”.
           Pendaratan rombongan Sipanjonga di Pulau Butun terbagi dalam dua: kelompok yang dipimpin Sipanjonga dan Simalui di Kalampa, dan kelompok Sitanamajo dan Sijawangkati di Walalogusi. Mereka mendirikan permukiman di pesisir dan akhirnya bersatu di Kalampa. Akan tetapi dalam perjalanannya perkampungan itu sering mendapat serangan perompak. Dikisahkan pula Sijawangkati memasuki ke pedalaman untuk menebang pohon enau. Rupanya wilayah itu sudah dikuasai seorang bernama Dungkungcangia. Berkali-kali Sijawangkati menebang pohon itu membuat Dungkungsangia marah. Ia lalu menebang pohon yang lebih besar dari yang ditebang Sijawangkati. Melihat hasil tebangannya itu, Sijawangkati menganggap si penebang pastilah bukan sembarang orang. Iapun lalu mengikat hasil tebangan itu dengan seutas tali.
           Kini Dungkungcangia yang mengira pelakunya manusia luar biasa. Tibalah mereka bertemu dan saling mengadu kesaktiannya. Tidak ada yang kalah dan menang. Mereka sepakat untuk berdamai dan membentuk ikatan persaudaraan. Kemudian diketahui Dungkungcangia adalah raja Tobe-Tobe. Ia menyerahkan wilayahnya masuk ke dalam kerajaan Butun. Mitos ini menggambarkan proses adapti dan integratif antara pendatang dan orang yang “lebih dahulu” tinggal di Pulau Butun. Dalam konteks masyarakat Butun sesungguhnya tidak ada pengertian penduduk “asli”.
           Konon Dungkungcangia adalah salah satu panglima pasukan Khubilai Khan yang tercerai dari induknya sewaktu dipukul mundur oleh Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit. Memang dikenal ada tiga orang panglima dalam pasukan Khubilai Khan yang menyerang Jawa pada abad ke-13: Shihpi, Iheh-mi-shih, dan Kau Hsing. Entah mana yang kemudian dikenal sebagai Dungkungcangia.
           Menurut tradisi lokal pula disebutkan Dungkungcangia terdampar di pantai timur Butun. Sewaktu melakukan penelitian lapangan awal Agustus 1995, penulis masih dapat melihat kerangka perahu yang dipercaya penduduk Desa Wabula, sebagai perahu yang terdampar dahulu digunakan Dungkungcangia. Mereka masih merawat sebagai barang keramat. Menarik nama Wabula untuk desa di tepian pantai itu. Dalam bahasa Wolio, Wa (Ode) menunjuk pada jenis perempuan, La (Ode) = untuk laki-laki), sedangkan bula artinya putih. Dikisahkan pula bahwa ada seorang perempuan Cina yang turut dalam penumpang perahu yang terdampar itu. Menurut keyakinan setempat, penduduk di sana adalah keturunan dari “si perempuan putih” itu.
          Tentang seorang manusia yang muncul dari “buluh (bambu)”, merupakan kisah lokal dari Muna. Adalah mitos terbentuknya perkampungan pertama bernama Wamelai, sekarang bagian dari Kampung Tongkuno. Komunitas ini hidup berburu dan membuka ladang. Sistem kemasyarakatannya dipimpin oleh seorang yang disebut mieno. Sewaktu sekelompok orang mencari bambu untuk membuat rumah besar untuk mieno, terjadilah suatu peristiwa. Ketika seorang mengayunkan parang menebang bambu maka terdengarlah suara “aduh kakiku” lalu ketika diayunkan ke atas sedikit terdengar lagi “aduh pinggangku” dan ketika sampai di bagian atas terdengar lagi “aduh kepalaku”. Maka dibawalah bambu itu ke Wamelai dan dijaga dengan hati-hati.
          Setelah beberapa hari terdamparlah sebuah palangga di pantai yang berisi seorang perempuan. Ia adalah anak raja Luwu yang sengaja dikirim ke timur karena belum juga mendapat jodoh. Ia diberi nama Sangke Palangga dan dipertemukan dengan bambu ‘ajaib’ itu. Maka terdengarlah suara dari bambu: “inilah isteri saya”, dan dijawabnya “saya datang memang untuk tuan”. Dari bambu keluarlah seorang laki-laki yang kemudian dikenal sebagai Beteno ne Tombula. Dari pasangan inilah yang menurunkan penduduk Muna. Mitos semacam ini terdapat pula yaitu munculnya Wa Kaa Kaa seorang perempuan yang kemudian menjadi raja perempuan Butun.
          Salah satu fungsi mitos memang adalah sebagai faktor integratif atau pembentuk solidaritas masyarakat. Begitulah ketika Sipanjonga berkawin dengan Sabanang, saudara perempuan Simalui, melahirkan anak laki-laki bernama Betoambari (nama bandara di Bau-Bau sekarang). Betoambari dikenal sebagai tokoh penting kerajaan Butun. Ia pula yang mengawinkan Wa Kaa Kaa, adalah puteri Batara Guru yang bermukim di langit, dengan Sibatara seorang keturunan dari Majapahit (Vonk 1937:20). Alur ceritera memang tidak usah harus dirunut dengan logis yang utama adalah bagaimana pembenaran dan legitimasi bagi sebuah tatanan sosial-politik hendak dibangun. Maka begitu pula ketika mitos dari “dunia Bugis” yang lain pun berkaitan dengan mitos-mitos di atas dalam uraian di bawah ini. Mengenai asal-usul penduduk, dikenal pula adanya mitos dari Luwu yang dianggap merupakan “the cradle of civilization” di Sulawesi Selatan. Dilihat dari perspektif Luwu, Butun dan Muna merupakan daerah “pinggiran”. Asal-usul penduduk kesultanan berasal dari kedua pulau itu, seperti di bawah ini:
          “Dahulu di sini adalah air. Sampai pada suatu hari berlayarlah sebuah perahu mengarungi laut itu, yang ditumpangi seorang laki-laki bernama “SAWERIGADI”. Perahunya terdampar. Sawerigadi adalah anak raja Luwu dan oleh ibunya diperintahkan berkeliling dunia dengan membawa “ayam kuning”. Ia dianggap sebagai “orang mulia”, seorang yang menempati strata tinggi. Tempat terdamparnya perahu itu pada satu tanah besar di tengah laut, yang kemudian menjadi Pulau Muna. Juga diketahui gunung tempat perahu terdampar masih ada bernama “Gunung Bakutara” dan terletak di dekat Kota Muna dahulu. Di gunung itu masih tegak batu berbentuk perahu. Dari tempatnya terdampar, Sawerigadi berjalan menuju daratan ke Wisenekontu, dekat kampung Tanjung Batu sekarang, dari sana ia lalu kembali ke negerinya. (Wisenekontu berati “menghadap ke batu”). Raja Luwu kemudian mengirimkan sejumlah orang-orangnya pergi melihat perahu Sawerigadi. Sebagian orang-orang itu tetap tinggal dan merekalah penduduk pertama Muna”


2 komentar:

  1. dimana aku bisa temukan buku2x untk d makassa,??

    BalasHapus
  2. bisa tolong uplod kosa kata bahasa wolionya lengkap dengan dengan artinya

    BalasHapus